“Bangggggg….”
Ethan menjauhkan handphone pintarnya dari telinganya. Suara melengking dari ujung telepon itu cukup mengganggu telinganya.
“Apaan sih, Ra?”
“Aku galau.”
“Galau kan nama tengahmu?”
“Buset dah. Beneran ini Bang!”
“Ya tinggal cerita, seperti biasanya, Ra. Kenapa kenapa? Come to papah.”
Kara mulai bercerita, panjang lebar. Ethan mendengarkan dengan saksama. Bukan sekali sih sebenarnya Ethan harus mendengar suara galau Kara bercerita panjang lebar. Dan Ethan selalu menjadi tempat yang nyaman bagi Kara untuk bercerita. Tahu sendiri lah, kalau cerita sama teman sesama cewek, 50% kemungkinan cerita itu akan bocor kemana-mana. Tapi kalau Kara bercerita ke Ethan, semuanya aman diam.
Tentunya dalam diam yang lain.
* * *
“Tuh kan kejadian lagi.”
Sebuah baris whatsapp Ethan meluncur ke whatsapp atas nama Karaniya Adinda.
“Kejadian apa bang? :(“
“Kamu terluka lagi.. Sakit lagi..”
“Ya begitu bang.. What can I do now? Capek aku luka begini terus.”
“Kamu perlu nyari yang ngerti kamu bener, Ra. Kamu itu cewek unik, buatku sih.”
“Unik kenapa, Bang???”
“Eh, nggak ding. Cewek semua unik kok. Hehe. *yang tadi batal*.”
“Eleuh si abang.”
“Haha.”
Dan messanger berwarna hijau itu diam lagi. Tidak ada getaran, tidak ada indikator hijau. Ethan hanya melihat last seen pada profil Karaniya Adinda. Eh, bahkan nggak pernah last seen, selalu online.
Ethan melihat, melihat dan melihat. Tanpa mengetik satu karakter pun.
* * *
“Bang, kok kisahku gini terus ya?” tanya Kara sambil memegangi botol milk tea yang sudah separuh kosong.
“Kayaknya memang cintamu itu rumit, Ra.”
“Rumit gimana Bang?”
“Ya mungkin kamu belum mengerti sesuatu?”
“Heh?”
“Ya mungkin kamu belum sadar kalau cintamu itu bukan dia. Siapa tahu.”
“Hmmmm…”
“Mungkin.. Ini mungkin loh. Ada suara lain yang sudah memanggil-manggil hati kamu dari dulu. Tapi kamu nggak denger,” ujar Ethan sambil memutar tutup botol root beer. Ia lalu menenggak tegukan terakhir dan melemparkan botol minuman bersoda itu ke tempat sampah di sebelah kursi taman.
“Jadi, aku harus ngapain Bang?”
“Cobalah lebih mendengar, Ra.”
“Abstrak Bang.”
“Coba dengar saja. Mungkin ada suara lara dari mana gitu, yang menyentuh laramu sekarang ini.”
“Nggak ngerti.”
“Nanti kamu pasti ngerti, Ra.”
“Okelah, ayo Bang, kita lanjut nyari buku lagi kalau gitu.”
Cobalah lebih mendengar, Kara. Ada suara hati yang memanggil kamu. Suara itu disini. Tidak jauh dari kamu.
Kutipan batin itu tidak pernah terungkap.
* * *
“Bang, sombong ah. Nggak pernah balas whatsapp sekarang. Ditelepon nggak diangkat.”
Sebuah pesan singkat dari Karaniya Adinda.
Ethan menutup kembali handphone-nya dan melempar benda mahal itu ke sudut tempat tidurnya. Suasana masih gelap, padahal pesan itu bertanggal 10 Agustus 2012 jam 14.25.
“Km dimana bang? Aku punya cerita ini. Kayaknya aku sudah bertemu yang kamu bilang bang. Seseorang yang abang bilang kemarin-kemarin. Cinta aku yang sebenarnya. Hehe. Senangnya. Bales ya Bang.”
Pesan singkat lagi, Kara lagi. Kali ini 14.42
Ethan memandang pesan itu singkat. Matanya semakin sayu. Badannya diputar ke kanan, arah tembok. Dalam remangnya kamar itu, Ethan menggores tembok dengan spidolnya.
“Dan kamu belum mendengar lara itu, Kara.”
Ethan beranjak. Dinyalakannya lampu kamar. Dan tampaklah isi kamar itu. Foto Karaniya Adinda dalam berbagai pose tertempel di seluruh dinding. Dan sebuah tulisan besar di tembok kanan tempat tidur.
“Dengar laraku, suara hati ini memanggil namamu, karena separuh aku, dirimu.”
Ruangan itu masih berduka atas sebuah kabar gembira. Ini hanya kisah lama, karena bukan kali ini saja Kara demikian. Dan bukan kali ini Ethan merasakannya. Bahkan seluruh luka Kara, sudah menggores luka yang lebih dalam bagi Ethan.
Ethan hanya menunggu, sampai Kara sadar, bahwa separuh Ethan, adalah Kara.
*sebuah interpretasi dari lagu NOAH yang berjudul Separuh Aku
0 komentar :
Posting Komentar